Friday, January 24, 2025

PEMBERANTASAN KORUPSI; MENDIDIK KARAKTER, BUKAN OTAK

Tulisan ini dilatarbelakangi dari pengalaman dari seorang rekan. Pada awal tahun 2009, seorang rekan penulis –sebutlah namanya Budi– mengajukan lamaran TKK (Tenaga Kerja Kontrak) untuk profesi guru di Kabupaten Pandeglang-Banten.

Pengajuan lamaran TKK/honorer ini sebenarnya bukan yang pertama dilakukan, sudah beberapa kali sebelumnya Budi mengajukan lamaran yang sama, tetapi hasilnya nihil. Berdasarkan kabar yang beredar, bahwa lamaran TKK ini “pasti” diterima, maka, dengan prasangka baik, Budi mengajukan lamaran sebagai TKK, yang walaupun ini menjelang Pemilu, tetapi mungkin inilah bentuk kepedulian pemerintah daerah yang bisa diberikan kepada guru honorer seperti penulis.

Budi mengajukan lamaran bersama teman-teman seprofesi lainnya. Lamaran ini dikolektifkan oleh lembaga tempatnya mengabdi sebagai wiyata bakti (guru honorer). Setelah berkas lamaran diterima Pemda dan diproses oleh BKD (Badan Kepegawaian Daerah), seminggu kemudian datang kepadanya seorang oknum BKD menawarkan jasa “baik” akan meloloskan lamaran menjadi sebuah SK (Surat Keputusan) Pengangkatan TKK dari Bupati asalkan Budi bisa menyediakan sejumlah uang, waktu itu diminta sebesar empat juta rupiah. Uang harus diserahkan setelah SK keluar, demikian tutur oknum BKD tersebut.

***

Kisah di atas amatlah memiriskan hati. Sedemikian murahkah harga sebuah SK untuk “mengangkat” harkat dan martabat dari sebuah profesi yang mulia, guru? Sedemikian murah harkat dan martabat yang dipertaruhkan dari profesi guru, sehingga hanya “dibandrol” dengan uang empat juta rupiah?

Guru adalah sebuah profesi yang mengharuskan moral dijunjung tinggi. Guru adalah seseorang yang mengajari keteladanan dengan penuh kebijaksanaan pada orang lain, berikut transfer wawasan dan pengetahuan untuk pengembangan diri anak didiknya di masa mendatang. Bisa juga diartikan, seseorang yang layak dan pantas untuk ditiru di segala sisi kepribadian hidupnya yang tegak di atas akhlakul karimah.

Jadi mana mungkin ketika seorang guru dituntut untuk ber-akhlakul karimah, harus menggadaikan moral, terlibat suap menyuap demi sebuah jaminan gaji perbulan dari pemerintah sebagai TKK. Sehingga, dengan berbesar hati tawaran “baik” oknum BKD tersebut, penulis tolak. Karena, profesi guru terlampau mahal untuk “dibeli” dengan sejumlah uang.

* * *

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan Negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi

Perkara korupsi terbilang pelik karena berbagai usaha dari mulai teori sampai realisasi pendirian lembaga pembasmi korupsi nyatanya tidak begitu mampu merunut sampai pada akar biang keladi dan membasminya dari sana hingga korupsi benar unexist, punah. Bak mengusir gatal jamur dengan cuma garuk-garuk saja, gatal lagi pastinya. Hal ini disebabkan salah satunya karena korupsi penuh dengan ambiguitas, memiliki banyak wajah dan peran yang berbeda-beda, kontradiktif dan timpang di realitas masyarakat Indonesia, terkhusus. Jelas, bagi para penjunjung moralitas, korupsi adalah momok yang 100% dimusuhi. Bagi rakyat jelata, korupsi hadir sebagai predikat bagi pemegang kekuasaan yang menjadi penyebab keterpurukan ekonominya. Beda halnya, para birokrat nakal, korupsi adalah konsep prima kesuksesannya dalam memenuhi kehausan akan kekuasaan kesejahteraannya yang tak berlimit.

Alhasil, pemahaman masyarakat Indonesia belum mencapai kebulatan persepsi yang seragam terhadap makna dan bentuk korupsi dalam kehidupan riil mereka. Perkara korupsi bukan perkara retorika yang hanya cukup dibahas dan ditunjuk ke muka orang lain, tapi korupsi adalah perkara action: Ketegasan dan transparasi cara berkehidupan sehari-hari hingga terhindar dari segala praktek koruptif, pencurian, pengelabuan, pengambilan hak secara tidak halal baik kecil ataupun besar. Maling sepuluh ribu ataupun triliunan, tetap maling.

Pendidikan Indonesia dikenal kental dengan nilai budaya, moral, dan religiutasnya, ternyata tidak mampu membuktikan keunggulan karakter dibandingkan negara liberal yang ateis tapi patuh pada hukum. Coba kita tinjau kurikulum sekolah di Indonesia dari mulai SD, SMP, SLTA hingga perguruan tinggi. Setiap jenjang pendidikan kita tidak pernah ketinggalan dengan mata pelajaran PKn dan Agama yang notabene sebagai pengontrol moralitas manusia Indonesia. Belajar moralitas 12 tahun lebih ternyata belum mumpuni sebagai pasokan doktrin moralitas di benak para pelaku korupsi. Pendidikan di Indonesia telah gagal, tentu saja.

Pendidikan intinya adalah pembangunan karakter. Thomas Lickona membagi tiga bagian dalam pembangunan karakter yaitu moral knowingmoral feeling dan moral behaviourMoral knowing berkisar bagaimana pengetahuan (kognisi) tentang kebajikan dan moralitas diajarkan untuk diketahui oleh para insan didik. Sejauh ini melihat kenyataan, pendidikan di Indonesia diperkirakan baru sebatas pembangunan karakter di tahap ini saja. Moral feeling mencakup daya mencintai kebajikan dan moralitas (loving or desiring the goodness), serta mengenai sikap dan rasa moral dari suatu tindakan. Sedangkanmoral behaviour adalah mengenai pola tindak (action the goodness), yaitu menciptakan aksi nyata dari pengetahuan tadi. Jadi, sia-sia saja bila diajarkan tapi tidak dipraktikkan, tidak diberi figur, dan insan didik tidak dilibatkan secara hidup. Pendidikan kita rupanya melupakan dua bagian terakhir dari pembangunan karakter tadi.

Maka dari itu, selain digairahkannya semangat anti korupsi, juga sistem pembangunan moralitas yang telah kita punya sejak lama dari segi spritual dan moral mesti disempurnakan, dinyawai dengan teladan serta pembangunan sistem, baik secara sosial di masyarakat dan birokrasi, juga hal kecil yaitu pembiasaan. Hal itu senada dengan kata Benyamin Franklin: Tell me and I forget, teach me and I remember and involve me and I learn (Beritahu aku, maka aku lupa. Ajarkan padaku, maka aku ingat. Dan libatkan aku, maka aku belajar).

Lebih lagi apabila sudut wacana yang kita ambil adalah pendidikan. Menyitir sebuah tulisan, pendidikan itu seolah lap-pel lantai yang berfungsi membersihkan seluruh permukaan jiwa manusia Indonesia dari segala kotoran ruhani dan moral. Penyakit sosial kita akan lebih akut bila praktek korupsi terjadi di dataran lembaga dan institusi yang berkaitan dengan pendidikan. Bagai mencuci lantai dengan lap kotor. Bukannya bersih tapi makin kotor dan belepotanlah lantai tersebut. Jauh lebih baik jika kita tidak menggunakan fungsi lap pel kotor tersebut, daripada kita melakukan hal yang lebih sia-sia lagi.

Selain itu, korupsi menjadi masalah pelik karena telah menjadi sebuah sistem yang kompleks. Sebuah sistem akan mampu dikalahkan dengan sistem lagi. Ada sebuah teori yaitu chaos theory dari James Gleick. Teori tersebut berasal dari ilmu Fisika yang sepadan untuk dianalogikan pada masalah korupsi ini. Pada teori tersebut, konsep yang pertama adalah mengenai butterfly effect theory. Konsep dari teori ini mengajarkan bahwa sekecil apapun tindakan kita di hari ini, akan berdampak besar di kemudian hari. Ini mengisyaratkan tindakan maling seribu rupiah di waktu kecil tidak menutup kemungkinan membentuk koruptor di 40 tahun kemudian.

Yang kedua, adalah konsep strange attractor (daya penarik). Sebuah kutub magnet dapat menarik apa saja yang mempunyai kualitas yang sama. Adanya strange attractor koruptor dalam sebuah kumpulan sosial akan menjadi daya penarik bagi mereka yang memiliki kualitas koruptor juga. Semakin banyak orang yang tertarik dan berkumpul dalam kerumunan sistem tersebut, maka akan membentuk sebuah pola dengan ciri khas pelakunya, membesar dan membesar. Jika dilihat dengan kaca analisa teori ini, demikianlah yang sedang dan telah terjadi dengan sejarah gelombang korupsi yang ada di Indonesia. Tinggal, sembari membabat korupsi dari akarnya, kita juga bisa menciptakan tandingan strange attractor positif yang lebih unggul kekuatannya, menyebarkannya hingga dapat mengalahkannya dan menggulingkan gelombang massal dan pola korupsi yang sudah buncit itu.

Lambat mungkin kita rasakan, tetapi daripada kita tidak berkutik sama sekali, lebih baik kita memulainya. Dimulai dari titik nol. Kita!

Sumber ; http://draft5pena.wordpress.com/category/5-jurnal-pendidikan/