SISTEM pendidikan di Indonesia memang UNIK dan ANEH. Semua permasalahan pendidikan, termasuk KUALITAS yang rendah, selalu dibebankan kepada siswa/mahasiswa. Perbaikan BUKAN meningkatkan kualitas sistem pendidikan melalui menerapkan Total Quality Management in Education (TQME) tetapi menambah beban belajar kepada siswa/mahasiswa.
Mengikuti sistem pendidikan di negara-negara maju, peran guru/dosen yang HARUS menutupi gap (kesenjangan) antar-siswa/mahasiswa dalam kelas, sehingga TIDAK ADA istilah siswa/mahasiswa tahan kelas atau TIDAK LULUS. Sebaliknya di Indonesia para siswa/mahasiswa yang ditambah beban belajarnya, BUKAN guru/dosen yang “dimotivasi” untuk belajar bagaimana meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga lulusan dari sistem pendidikan dapat berkompetisi di pasar tenaga kerja global.
Contoh nyata dalam Peraturan Mendikbud RI No. 049 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Agar meningkatkan “kualitas pendidikan tinggi”, maka jumlah SKS untuk mahasiswa pascasarjana (S2) ditambah dari 36 SKS menjadi 72 SKS, yang berarti lama studi yang normal selama empat semester ditambah menjadi sekitar delapan semester (empat tahun). Pada saat yang sama, pendidikan pascasarjana (S2) dalam bidang bisnis (seperti MBA/MM) di USA sedang dipertimbangkan untuk dikurangi dari lama belajar selama dua tahun menjadi satu tahun, karena negara-negara di Eropa sekarang telah menyelenggarakan pendidikan MBA/MM dalam waktu 10-12 bulan saja.
Sekolah-sekolah bisnis di Eropa, meskipun memberlakukan jalur cepat untuk memperoleh MBA/MM hanya dalam maksimum 12 bulan (selama empat periode @tri-wulan), tetapi sekolah-sekolah itu bereputasi kelas dunia melalui terakreditasi AACSB (The Association to Advance Collegiate Schools of Business). Sedangkan di Indonesia baru hanya ada satu sekolah yang terakreditasi AACSB, yaitu: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM (itupun akreditasi AACSB baru diperoleh Mei 2014, dalam proses yang panjang dan berliku sekitar delapan tahun).
Hal ini yang disebut UNIK, karena di negara-negara maju proses pendidikan didesain dan diimplementasikan agar CEPAT menghasilkan standar lulusan yang berkualitas dan diakui dunia (reputasi kelas dunia) melalui seleksi mata pelajaran yang diajarkan sesuai kebutuhan, tetapi di Indonesia proses pendidikan “sengaja diperlambat” melalui menambah mata pelajaran tanpa jaminan standar lulusan yang berkualitas dan diakui dunia (reputasi kelas dunia).
Di samping ke-UNIK-an di atas, maka ke-ANEH-annya adalah meskipun sistem pendidikan di Indonesia telah “menambah waktu dan beban belajar”, tetapi ranking pendidikan di Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40 negara di dunia, berdasarkan publikasi terbaru dari Pearson Education (2014).
Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan Eduaction Index ini terdapat empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu sampai empat menggeser Finlandia ke posisi nomor urut lima yang pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan, (2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia (ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14), Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko (39), dan Indonesia (40). sumber: http://thelearningcurve.pearson.com/index/index-ranking.
Informasi lebih lanjut dapat dibaca secara singkat dalam website: http://thelearningcurve.pearson.com/2014-report-summary/.
Berdasarkan Laporan dari Pearson (2014) pendidikan sekarang BUKAN sekadar 3Rs (Reading, wRiting, and aRithmetic), TETAPI keterampilan baru yang dibutuhkan dunia kerja sekarang adalah: (1) Leadership, (2) Digital Literacy, (3) Communication, (4) Emotional Intelligency, (4) Entrepreneurship, (5) Global Citizenship, (6) Problem Solving, and (7) Team-working.
Leadership adalah keterampilan untuk mempengaruhi diri sendiri (self leadership), mempengaruhi tim (team leadership), dan mempengaruhi semua orang dalam organisasi (organizational leadership) agar berkomitmen dan bekerjasama untuk mencapai visi dan misi organisasi. Seorang pemimpin yang efektif harus memiliki paling sedikit empat E, yaitu: Energy (memiliki semangat profesionalisme), Energize (menyemangati orang lain untuk maju), Edge (berpikir tajam seperti mata pisau), dan Execution (memiliki kemampuan eksekusi terhadap rencana-rencana aksi).
Digital Literacy berkaitan dengan keterampilan dalam tiga hal berikut, yaitu: (1) kemampuan untuk menggunakan teknologi digital, alat komunikasi atau jaringan untuk menemukan, mengevaluasi, menggunakan dan menciptakan informasi, (2) kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber ketika disajikan melalui komputer, dan (3) kemampuan seseorang untuk melakukan tugas-tugas secara efektif dalam lingkungan digital. Literasi mencakup kemampuan untuk membaca dan menafsirkan media untuk mereproduksi data dan gambar melalui manipulasi digital, dan untuk mengevaluasi dan menerapkan pengetahuan baru yang diperoleh dari lingkungan digital (sumber: http://www.library.illinois.edu/diglit/definition.html).
Communication berkaitan dengan keterampilan mengkomunikasikan informasi penting secara mudah dan singkat agar dapat dipergunakan untuk pembuatan keputusan peningkatan kinerja organisasi.
Emotional Intelligence (EQ) berkaitan dengan keterampilan untuk mengidentifikasi, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi secara positif untuk meredakan stres, berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, berempati dengan orang lain, mengatasi tantangan, dan meredakan konflik. Entrepreneurship berkaitan dengan keterampilan untuk mengembangkan, mengatur dan mengelola usaha-usaha kreatif bersama dengan risiko yang diperhitungkan (calculated risks) dalam rangka untuk menciptakan manfaat-manfaat dari usaha-usaha kreatif itu. Entrepreneurship atau kewirausahaan dapat berupa kewirausahaan bisnis (business entrepreneurship), kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), kewirausahaan pemerintahan (government entrepreneurship), dll.
Global Citizenship adalah berkaitan dengan keterampilan seseorang yang mampu menempatkan identitas mereka agar sesuai dengan komunitas global lebih daripada identitas mereka sebagai warga negara tertentu atau asal suku bangsa tertentu. Prinsip-prinsip universalisme harus ada dalam global citizenship.
Problem Solving adalah berkaitan dengan proses mental yang melibatkan, menemukan, menganalisis dan memecahkan masalah. Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah untuk mengatasi hambatan dan menemukan solusi yang terbaik dalam memecahkan masalah.
Team-working adalah berkaitan dengan proses bekerja bersama-sama dengan sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Team-work merupakan bagian penting dari keberhasilan organisasi, karena kita membutuhkan rekan-rekan kerja untuk bekerja sama dengan baik, mencoba ide-ide terbaik mereka dalam situasi apapun agar mencapai sinergi dalam hasil. Prinsip dua kepala lebih baik daripada satu kepala berlaku dalam team-working ini. Team-working berarti bahwa orang akan mencoba untuk bekerja sama, menggunakan keterampilan masing-masing dan memberikan umpan balik yang konstruktif, meskipun ada konflik pribadi di antara individu-individu dalam tim kerja sama itu.
Belajar dari Korea Selatan
Korea Selatan merupakan negara yang menjadi sorotan dunia pada akhir-akhir ini, karena di samping kemajuan ekonomi yang sering disebut “mujizat (miracle)”, juga kualitas sistem pendidikan negara ini meningkat sangat pesat. Korea Selatan mulai membangun sistem pendidikan pada tahun 1950-an sejak berakhir perang korea dengan masalah utama adalah sekitar 78% penduduknya buta huruf, hampir sama seperti Indonesia ketika itu. Tingkat kemiskinan sangat parah di Korea Selatan pada tahun 1950-an itu. Namun hal-hal berikut yang membuat Korea Selatan maju pesat dalam bidang pendidikan sehingga menempati ranking pertama pada tahun 2014.
Pertama, investasi yang sangat intensif dalam bidang pendidikan (15% dari GNP dialokasikan untuk bidang pendidikan). Kedua, pengeluaran orang-orang tua di Korea Selatan sekitar 25% dari pendapatan rumah tangga dialokasikan untuk investasi dalam bidang pendidikan bagi anak-anak mereka berupa: memberikan tutorial dan membeli bahan-bahan untuk mendukung proses pembelajaran putera/puteri mereka. Ketiga, guru/dosen di Korea Selatan sangat berdedikasi pada tugas mereka dan hal inilah yang menjadi faktor utama peningkatan kualitas pendidikan di Korea Selatan, di samping faktor dukungan kebijakan pemerintah dan keterlibatan orang tua di atas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diringkas kunci SUCCESS sistem pendidikan di Korea Selatan (Ranking nomor 1 di dunia pada tahun 2014) yang dapat ditiru oleh Indonesia, adalah, pertama, melibatkan orang tua dalam sistem pendidikan. Orang-orang tua di Korea Selatan sangat terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka di sekolah. Dengan melibatkan orang tua, maka mereka mengetahui bagaimana anak-anak mereka sedang melakukan apa dan di mana, serta apakah yang dilakukan itu benar? Menciptakan hubungan positif antara orang tua dan anak-anak sekolah ini dilakukan melalui komunikasi yang intensif antara guru-guru di sekolah dan orang-orang tua di rumah. Pembaharuan informasi dilakukan setiap hari atau paling lama setiap akhir pekan.
Kedua, menggunakan teknologi dalam proses pendidikan. Ruang-ruang kelas di Korea Selatan dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi. Komputer, internet, layar LCD dan papan cerdas (smart boards) HARUS ada dalam setiap kelas. Fasilitas teknologi ini sangat membantu guru dan siswa dalam proses pembelajaran terutama memperoleh pengetahuan baru yang bersifat aktual. Di samping itu siswa-siswa dipersiapkan oleh orang tua mereka dengan laptop berkecepatan tinggi untuk memudahkan akses ilmu pengetahuan melalui internet.
Ketiga, guru-guru di Korea Selatan selalu memberikan hal-hal lebih (di atas standar) baik tentang gaya mengajar yang berperan sebagai teman belajar, berdiskusi, dan selalu memberikan akses informasi terbaru tentang ilmu pengetahuan. Secara singkat dikatakan bahwa tenaga pendidik/pengajar di Korea Selatan SANGAT PROFESIONAL dalam bidang mereka.
Keempat, menciptakan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan semua orang (siswa/guru/orang tua) melakukan hal-hal yang terbaik setiap hari, menciptakan inspirasi dan pemikiran kreatif setiap hari, dan keinginan semua orang untuk belajar terus-menerus secara menyenangkan setiap hari.
Pendidikan adalah kunci menuju pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan keterpaksaan belajar dan berpendapat/berpikir, sehingga proses pembelajaran HARUS menyenangkan bukan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak efektif dan tidak bermanfaat setiap hari. Indonesia seyogianya bercermin dari lingkungan global dan harus bertanya sebagai refleksi diri mengapa kita selalu tertinggal dari negara-negara lain di dunia, termasuk sangat tertinggal dari Korea Selatan? Padahal kedua negara Korea Selatan dan Indonesia memulai masa pembangunan yang bersamaan pada tahun 1950-an dengan kondisi yang lebih parah berada di Korea Selatan.
Jika hal-hal di atas tidak diperhatikan secara serius dalam sistem pendidikan di Indonesia, maka hampir dipastikan bahwa lulusan pendidikan di Indonesia, terutama lulusan pendidikan tinggi akan kalah berkompetisi dalam pasar tenaga kerja ASEAN (AFTA = Asean Free Trade Area) yang akan mulai berlaku pada tahun 2015. Kita tidak perlu kaget apabila lulusan pendidikan tinggi Indonesia hanya akan menjadi karyawan rendah atau sulit memperoleh kesempatan kerja di Indonesia karena para manajer akan ditempati oleh tenaga-tenaga kerja asing yang berasal dari lulusan perguruan tinggi berakreditasi kelas dunia serta organisasi bisnis akan lebih senang merekrut lulusan pendidikan tinggi yang memiliki kriteria keterampilan di atas. Perguruan tinggi kelas dunia selalu terus-menerus memperbaiki sistem kualitas pendidikan mereka yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar global. *(Profesor Bidang Teknik Sistem dan Manajemen serta Lean Six Sigma Master Black Belt)
http://kupang.tribunnews.com/2014/08/26/kualitas-sistem-pendidikan-di-indonesia