Thursday, November 7, 2024

Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional

Pekanbaru – (02/05/2017) ~ Tokoh pahlawan nasional ini dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan kolonial Belanda. Lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889, dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta dan merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.

Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para kaum pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Awal Karir sebagai Wartawan

Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan. Ki Hajar Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar pada zaman Belanda di Indonesia untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Setelah lulus ELS, kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA, yaitu sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda – saat ini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namun ia tidak menamatkan sekolah tersebut karena menderita sakit.

Ki Hajar Dewantara lebih tertarik kepada dunia jurnalistik dan mulai bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar pada masa itu, anatara lain Sediotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis yang handal. Gaya penulisan Ki Hajar dewantara cenderung tajam dan mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti halnya sebuah tulisan pedas pada harian De Express pimpinan Douwes Dekker yang berjudul “Als Ik een Nederlander” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Melalui tulisan ini, beliau menyindir Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaannya dan Perancis di negari jajahan dengan menggunakan uang rakyat Indonesia.

Tulisan tersebut menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Belanda yang mengakibatkan Ki Hajar Dewantara ditangkap dan atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg, beliau diasingkan ke Pulau Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Namun demikian kedua rekannya Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo memprotes dan akhirnya mereka bertiga yang dikenal sebagai “Tiga Serangkai” diasingkan ke Belanda (1913). Soewardi kala itu berusia 24 tahun.


Dalam pengasingannya di Belanda, dimanfaatkan oleh Ki Hajar Dewantara untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging).

Pendirian Tamansiswa

Pada September 1919, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan bergabung dalam sekolah binaan dari saudaranya. Pengalamannya mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang akan ia dirikan.

Bersama rekan-rekan seperjuangannya, 3 Juli 1922,  ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Ajaran Ki Hajar Dewantara yang dikenal dengan konsep Laku-Telu atau tiga peran yang dirumuskan dalam frasa Bahasa Jawa : ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Artinya di depan memberi teladan; di tengah memberi semangat, ilham (inspirasi); dan di belakang memberi dorongan. Ajaran atau semboyan ini masih tetap dipakau dalam dunia pendidikan di Indonesia terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Selain ajaran di atas ada beberapa gagasan dan pemikiran beliau yang tetap relevan dan menjadi acuan bagi pembangunan pendidikan nasional kita. Beberapa di antara pandangan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah (1) Panca Dharma, yaitu bahwa pendidikan perlu beralaskan lima dasar yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan; (2) Kon-3, yaitu bahwa penyelenggaraan pendidikan harus berdasakan asas kontinuitas, konvergensi, dan konsentris, dalam arti proses pendidikan perlu berkelanjutan, terpadu, dan berakar di bumi tempat dilangsungkannya proses pendidikan; (3) Tri-pusat Pendidikan, bahwa pendidikan hendaklah berlangsung di tiga lingkungan yang kita kenal dengan nama tripusat, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang saling berhubungan simbiosis dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Berkat jasanya yang besar di bidang pendidikan, maka pemerintah menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan dan tanggal lahirnya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indoensia. Pada tahun 1957, beliau mendaat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut, beliau meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Tama Wijaya Brata.

Selain penghargaan di atas, nama beliau juga diabadikan sebagai salah satu nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998. Kemudian pada tanggal 28 November 1959, Presiden RI, Soekarno mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959. (@nunovia)

Demikian, semoga bermanfaat……..

Sumber :