Friday, March 28, 2025

Mengenal Sosok Bung Hatta, Sang Proklamator Indonesia

Pekanbaru – (07/08/2017) ~ Siapakah yang tidak mengenal tokoh pahlawan nasional ini. Beliau sangat bersahaja dan sederhana. Dikenal sebagai salah satu tokoh Proklamator Indonesia bersama dengan Ir. Soekarno. Beliau adalah Mohammad Hatta. Moh. Hatta lahir di sebuah kota kecil yang indah di Sumatera Barat, Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Lahir dari pasangan Mohammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.

Lahir dengan nama Muhammad Athar, ia merupakan anak kedua  dan laki-laki satu-satunya. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca Perang Padri.

Ayahnya H. Mohammad Djamil meninggal ketika Hatta berusia tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang. Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak yang kesemuanya adalah perempuan.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916 timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Masa Pendidikan

Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-lmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga, perdagangan mempengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.

Masa Perjuangan dan Pergerakan

Kiprahnya di bidang politik dimulai ketika Hatta bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah di Handels Hogenschool (sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam). Selama menetap disana, ia bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasai tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudia berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di PI, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun 1922 dan menjadi kerua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul “Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan”.

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran rakyat Indonesia.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi internasional untuk Perdamaian di Bierville, Perancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland Swiss. Judul ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Aktivitas politik Hatta pada organisasi menyebabkan dirinya bersam dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat ditangkap tentara Belanda. Ia dituduh telah menghasut untuk menentang Kerajaan belanda.

Selama lima setengah bulan mereka ditahan dan diinterogasi berulang kali sampai akhirnya diajukan ke sidang pengadilan. Bung Hatta menolak didampingi seorang pengacara, ia akan melakukan pembelaan oleh dirinya sendiri. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan yang kemduian diterbitkan sebagai brosur dengan nama Indonesia Vrij, dan kemduian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul “Indonesia Merdeka”. Antara tahun 1930 – 1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalaj Daulat Ra’jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Masa Pengasingan

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di negeri Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, Hatta sibuk menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat serta bergabung dengan organisasi Club Pendidikan ansional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahanannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende Flores terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 November 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933).

Akibat aksi Hatta inilah pemerintah Kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku yang berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Pada masa pengasingan di Digoel, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu dikemudian hari dibukukan dengan judul-judul anatara lain “Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan” dan “Ala Pikiran Yunani” (empat jilid).

Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Banda Neira. Disanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Saat-saat mendekari Proklamasi, 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Kemudian pada awal Agustus 1945, tepatnya 9 agustus 1945, BPUPKI berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimana Bung Karno bersama dengan Bung hatta dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua. PPKI bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadilah peristiwa Rengasdengklok dimana pada peristiwa ini Bung Karno dan Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Song, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).

Penculikan dilakukan oleh kalangan pemuda dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Keesokan harinya panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekarno, Hatta, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktenya. Setelah pekerjaan itu selesai, mereka membawanya ke ruang tengah tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agas naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan.

Tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijoprnoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwi tunggal.

Masa Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali pemerintah Indonesia. Pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli 1947, Bung Hatta pergi ke India menemuai Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (pilot pesawat adalah Biju Patnaik, yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948, PKI melakukan pemberontakan 19 Desember 1948. Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar dimana-mana. Pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Kongres Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia dan Gelar Kehormatan Akademis yang Diperolehnya

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besarnya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1971).

Pada tanggal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis, yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “ Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960, Bung hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indoensia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Akhir Hidup Bung Hatta

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan Tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.

Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di RS. Dr. Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah sebelas hari dirawat, pada usia 77 tahun. Keesokan harinya, beliau disemayamkan di kediamannya, Jl. Diponegoro 57 Jakarta dan dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik.

Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelas Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional. (@nunovia)

Demikian, semoga bermanfaat……..

Sumber (dirangkum dari berbagai sumber) :